JENDELA DUNIA

SEKOLAH DEMI KEMAJUAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA

KARAKTER

Pembentukan Karakter Anak Bangsa Diawali Dengan Membaca

RAINBOW

Pendidikan Selalu Mewarnai dan Mempengaruhi Dunia

My Book

My Book is My Future

My Campus

Catatan Mahasiswa Pecinta Kampus

Selasa, 08 Mei 2012

pendidikan berkelanjutan

Telah diketahui bersama bahwa di Indonesia setiap tahun diselenggarakan peringatan Hari Pendidikan Nasional. Berkaitan dengan hal ini, sepatutnya harus jelas peringatan tersebut ditempatkan dalam perspektif seperti apa. Perspektif yang dicari adalah yang bersifat jangka panjang yang merupakan visi bangsa yang akan diwujudkan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Visi bangsa yang dimaksud di sini adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah secara sangat jelas menyebutkan bahwa Pemerintah NKRI mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa pada hakekatnya adalah memajukan pendidikan. Upaya untuk mewujudkannya antara lain telah dibuat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keberadaan kedua Undang-Undang tersebut diharapkan mampu menjamin pemerataan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Tantangan global dalam bidang pendidikan adalah menjadikan dunia pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing dengan negara-negara di dunia. Atau harus mampu menjadi World Class University. Sesungguhnya upaya untuk membuat dunia pendidikan di Indonesia berkualitas telah dilakukan oleh Pemerintah, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang berisikan standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, penilaian pendidikan. Standar Nasional Pendidikan ini difokuskan untuk pendidikan Taman Kanak-Kanak, pendidikan Dasar, Dan pendidikan Menengah. Kualitas yang tinggi dari ketiga pendidikan tersebut akan berdampak terhadap kualitas pendidikan Tinggi. Keberadaan Standar Nasional Pendidikan ini belum cukup untuk menjadikan pendidikan di Indonesia berkualitas. Standar yang menyangkut berbagai macam isi ini perlu diterapkan dalam proses belajar mengajar. Keberhasilan dalam menerapkan SNP sangat bergantung pada kualitas Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan kualitas guru dan dosen, dilaksanakan program kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi untuk guru. Sedangkan untuk dosen diberlakukan program kualifikasi, kompetensi, sertifikasi, dan jabatan akademik. Sangat diharapkan keberadaan Sistem Pendidikan Nasional, Standar Nasional Pendidikan, Kualitas Guru dan Dosen akan mampu mengungkit daya saing sumber daya insani bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia ini. Hal ini harus dapat diwujudkan untuk memperbanyak bukan hanya World Class University saja namun juga harus mampu menjadikan pendidikan TK, SD, SMP, SMA berkualifikasi World Class. Kebijakan menjadikan dunia pendidikan di Indonesia berkualitas dan berdaya saing di dunia Internasional jangan hanya ditempatkan dalam perspektif kebijakan sesaat, namun harus bersifat keberlanjutan.
A. Pengertian Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan (continuing education) didefinisikan oleh the accrediting commission of the continuing education. Sebagai berikut: Continuing education as the further development of human abilities after entrance into employment or voluntary activities. It includes in- service, upgrading, and updating education. It may be occupational education or training whichfurthers career or personal development. Continuing education includes that study made necessary by advances in knowledge. (Apss, 1979: 68-69). Berdasarkan definisi di atas dapat dikemukakan bahwa pendidikan berkelanjutan merupakan kesempatan belajar bagi orang dewasa untuk meningkatkan kemampuan setelah mereka melakukan suatu kegiatan atau suatu pekerjaan sukarela di masyarakat. Pasal 12 UU RI tahun 2003 menyebutkan bahwa: 1. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar 2. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan 3. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat 4. Pendidikan yang sederajat dengan SMA atau MA adalh program seperti paket C pada jalur pendidikan nonformal.
B. Tujuan Pendidikan Berkelanjutan Pendidikan berkelanjutan diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbale balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.

by http://ririniest.wordpress.com/2010/07/06/pendidikan-berkelanjutan/

Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial

Dalam harian Kompas beberapa waktu lalu disebutkan, komitmen Indonesia dalam melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals atau MDG’s) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya dapat disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.
Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70-an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh “guru”-nya.
Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDG’s.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya “dikawinkan” melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP.
Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum, meski keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isunya.
Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya, seperti yang dikatakan Antropolog dan peneliti senior LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses perubahan yang mencakup, antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.
Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan (en-gender) ekonomi hingga akan terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di mana pemerataan gender dipegang sebagai suatu nilai yang paling mendasar.
Ekonomi baru seperti inilah yang telah dijalankan oleh seluruh wanita di dunia secara otomatis sebagai kodrat kewanitaannya. Mereka mengelola sumber daya demi mempertahankan segalanya. Bukan saja kehidupan diri, tapi juga keluarganya, masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya. (Tety Hartya, Praktisi Pemberdayaan Perempuan/Ari Hariadi, mantan Community Development & Women In Development NTT-WRDS CIDA, KMW I P2KP-2 Kalbar; Nina)

by http://www.p2kp.org/wartaarsipdetil.asp?mid=1669&catid=2&

Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Jender

Biaya pendidikan yang setiap tahunnya semakin bertambah mahal semakin membebani orangtua siswa. Akibatnya, bagi siswa dari keluarga miskin, sekolah semakin menjadi impian.

Untuk menikmati fasilitasi pendidikan "berkualitas" semakin tidak memungkinkan. Banyak anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melanjutkan studinya di sekolah yang kualitasnya di bawah standar. Yang penting, biaya terjangkau oleh kocek pendapatan orangtua mereka.

Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh arus komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas yang ditawarkan kepada siswa (orangtua siswa) dengan berbagai variasi biaya.

Pendidikan berkategori "unggulan" biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak sekolah unggulan mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak menjadi beban orangtua siswa.

Dampak komersialisasi pendidikan lambat laun akan membuat diskriminasi hak memperoleh fasilitasi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas adalah merupakan bentuk perwujudan hak asasi manusia, hak sosial-ekonomi-budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Pemerintah (negara) ini yang telah mengikrarkan diri untuk berkomitmen pada Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi upaya pencapaian pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah.

Hak memperoleh fasilitasi pendidikan harus dijamin melalui subsidi negara secara berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak.

Sayangnya, filosofi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) menjadikan pendidikan bukan lagi sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara seolah lepas tangan dalam membiayai pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan justru dilepas sebagai "kewajiban" masyarakat untuk ikut andil dalam pembiayaan pendidikan.

Tidak mengherankan alokasi anggaran pendidikan di Indonesia yang dipatok dalam APBN masih belum memenuhi batas minimal 20 persen.

Minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan memang akan menyebabkan dampak buruk bagi komitmen memfasilitasi hak anak-anak miskin memperoleh pendidikan layak. Akan semakin banyak anak-anak usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah.

Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai 18,3 persen, dan yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.

Diskriminasi

Ironisnya, kebanyakan anak- anak usia sekolah dari keluarga miskin yang gagal melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP atau dari SMP ke SMA mayoritas (72,3 persen) adalah siswa perempuan.

Anak-anak perempuan usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah selain karena minimnya biaya pendidikan dari keluarga, juga karena masih terjerat cara pandang patriarkis orangtua.

Orangtua anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menganggap anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah. Lebih baik anak perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja di sektor publik sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.

Kondisi demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya. Mereka tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang berkualitas dan berbiaya murah.

Andai kata pun anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin bisa meneruskan studi sampai jenjang sekolah menengah, mereka terpuruk menjadi pekerja sektor informal berupah murah.

Membaca realitas di atas, maka sebenarnya dunia pendidikan di negeri ini telah mendiskriminasi hak-hak anak perempuan.

Pendidikan alternatif

Untuk itulah saat ini perlu bagi kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mengembangkan program pendidikan berbasis kesetaraan jender.

Langkah-langkahnya adalah, pertama, perlu dirumuskan reorientasi kurikulum pendidikan sekolah alternatif yang sensitif jender sehingga ada penghormatan terhadap hak-hak anak-anak perempuan.

Kedua, perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mendesak adanya plafon subsidi anggaran pendidikan yang khusus untuk anak-anak usia sekolah dari komunitas perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa melanjutkan studi setidaknya sampai lulus jenjang sekolah menengah atas.

Ketiga, perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan hak pendidikan bagi anak perempuan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan.

Keempat, kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses dan kegiatan belajar-mengajar. 

by http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=103:kesetaraan-pendidikan-berbasis-jender-&catid=49:artikel-gender&Itemid=116

Program Aksara sebagai Menu Pendidikan Keaksaraan

Seperti apa yang telah digembar-gemborkan saat ini mengenai pendidikan kewirausahaan, isu utama dalam pembangunan nasional tampaknya terletak pada pengembangan kewirausahaan sebagai peningkatan pembangunan ekonomi. Wacana tersebut menjadi pertimbangan dalam menapaki konsep peningkatan pengembangan pendidikan di negeri ini. Indonesia mulai menyadari akan pentingnya kewirausahaan diterapkan diberbagai aspek dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Rintisan ini menjadi amanat yang perlu diemban oleh para praktisi pendidikan luar sekolah di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.
Sejak tahun 2008 Indonesia telah bergabung dengan program LIFE (Literacy Initiative for Empowerment) yang digulirkan oleh UNESCO bagi sembilan Negara penyandang buta aksara terbesar termasuk di dalamnya Indonesia. Sejalan dengan program LIFE, dibangunlah dalam kerangka kerja AKRAB (Aksara agar Berdaya) pada tahun 2009 sebagai upaya penuntasan buta aksara melalui pendidikan keaksaraan terintegrasi dengan kecakapan hidup yang diharapkan nantinya dapat mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di negeri ini.
Tidak hanya sekedar memberikan jala ataupun perahu bagi para nelayan, namun hal yang lebih penting bagi mereka adalah pemberian fasilitas seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan) atau target market hasil penangkapan ikan itu sendiri mau dijual kemana. Hal seperti inilah yang musti diperhatikan dalam pengelolaan pengembangan pendidikan terutama bagi pendidikan keaksaraan. Karena masyarakat tidak hanya butuh dapat membaca saja, pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka yang lebih perlu diperhatikan.
Fokus pendidikan keaksaraan ke depan tidak hanya keaksaraan dasar, tetapi memberdayakan secara ekonomi, sosial, dan budaya serta diharapkan pendidikan keaksaraan dapat bermakna bagi masyarakat dan mampu menjawab tantangan saat ini. Begitulah yang disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Hamid Muhammad saat memberikan keterangan pers terkait peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-45 2010 di Gerai Informasi dan Media Kemdiknas, Jakarta. Yang rencananya peringatan HAI akan dilaksanakan pada 10 Oktober 2010 di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Tema dari peringatan itu sendiri adalah “Aksara Membangun Keadaban dan Karakter Bangsa .
Pendidikan keaksaraan dimungkinkan tidak sebatas penerapan Budaya Literasi (BUDAL), dengan pendidikan kewirausahaan menjadi unsur utama bagi pemenuhan akan outcome dari pendidikan keaksaraan itu tadi. Bukan berarti pendidikan kewirausahaan terlepas dari keberaksaraan, namun keduanya saling bersinergi. Sehingga muatan yang ada pada segi kewirausahaan dimasukkan dalam pendidikan keaksaraan, dengan begitulah Program Aksara Kewirausahaan akan dapat tercapai. Program pendidikan keaksaraan ini nantinya diintegrasikan dengan program kecakapan hidup, disamping keaksaraan dasar.
Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal PNFI Ella Yulaelawati juga menyampaikan adanya Program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). Program keaksaraan diintegrasikan dengan pemberdayaan melalui seni budaya lokal dan cerita rakyat. Selain itu, pemberdayaan dilakukan dengan memperluas akses Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dengan pempublikasian koran desa, semacam jurnalisme desa yang dilatih untuk membuat korannya sendiri.
Kata merdeka dari buta aksara akan lebih bermakna dengan konsep kewirausahaan dengan berbagai bentuk keterampilan yang diintegrasikan. Tidak hanya keterampilan semata, tetapi dibelajarkan dengan diberi modal dasar dan modalnya dari bantuan itu. Dan perlu diketahui, sebagaimana visi dari Ditjen PNFI adalah terwujudnya manusia Indonesia pembelajar sepanjang hayat dan yang salah satu misinya yaitu program pendidikan keaksaraan bermutu yang mampu meningkatkan kompetensi keaksaraan pada semua tingkatan (dasar, fungsional, dan lanjutan) bagi penduduk buta aksara dewasa secara meluas, adil, dan merata untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan produktivitas penduduk dan ikut serta dalam mendukung perbaikan peningkatan IPM.
Demi tercapainya Program Rintisan Aksara Kewirausahaan ini, Kemdiknas telah menunjuk 100 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk melaksanakan program keaksaraan melalui kewirausahaan atau lebih simpel lagi dengan sebutan Aksara Kewirausahaan. Bantuan program rintisan ini sebanyak Rp 70 juta per lembaga. Nantinya bantuan ini memang selayaknya dikelola dan dipergunakan dengan sebaik dan sebenar-benarnya sesuai kebutuhan program yang diselenggarakan bagi masyarakat sesuai dengan target sasaran.
By Muarif Untuk imadiklus.com

Life Skills atau Ketrampilan, Kecakapan Hidup

Ketrampilan/kecakapan   Hidup Atau Life Skills menurut WHO Adalah “Berbagai Keterampilan Atau Kemampuan Untuk Dapat Beradaptasi Dan Berperilaku Positif Dalam  Menghadapi Berbagai Tantangan Dan Tuntutan Hidup Secara Efektif“. Ketrampilan hidup yang dimaksud adalah  ketrampilan secara total baik fisik, mental dan spiritual, yang bermanfaat  untuk mengelola dirinya sendiri, dalam menghadapi lingkungan maupun  upaya membentuk kemandirian.
 
Ketrampilan/kecakapan  Hidup atau Life Skills  tersebut antara lain yaitu  : trampil  dalam memecahkan masalah;  trampil berpikir kritis ; trampil mengambil keputusan, trampil berfikir kreatif; trampil komunikasi interpersonal; trampil bernegosiasi;  trampil mengembangkan kesadaran diri, trampil berempati  dan juga trampil mengatasi stres dan emosi. Bila ketrampilan atau kecakapan hidup ini dimiliki oleh para  remaja, maka sudah pasti mereka akan lebih mudah  dalam menghadapi  kondisi, situasi, tantangan dan masalah  yang semakin hari semakin banyak dan semakin  kompleks. Karena mereka dapat berfikir cerdas dan mampu untuk memilah dan memilih mana yang baik dan bermanfaat bagi dirinya dan mana yang harus dihindari dan dijauhinya.
 
Ketrampilan/kecakapan Hidup atau Life Skills  akan lebih bermakna bila remaja juga dibekali dan diberi pemahaman  dalam penghayatan tentang  nilai-nilai  moral dalam kehidupan, diantaranya: beriman, ulet, percaya diri dan bertanggung jawab.
Nilai moral yang berasal dari kata  ” Mores ”  atau ” Moralis” yang mempunyai arti kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan juga  cara hidup ( E.Y Kanter, 2001),  yang biasanya berhubungan dengan perbuatan, sikap, tingkah laku yang bersifat kebaikan-kebaikan. Hal tersebut tentu dapat terbentuk melalui bimbingan dan peneladanan–peneladanan dari orang tua dan keluarganya, karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang terdekat dan terbaik bagi remaja.
 
Nilai – nilai  moral dalam kehidupan ini bukan hanya untuk difahami semata, namun yang terpenting adalah implementasinya dalam kehidupan mereka. Untuk memberikan peneladanan kepada remaja tentu orang tua harus memilki nilai moral itu sendiri, berikutnya baru bisa  memberikan bimbingan kepada para remaja.
 
Intinya adalah;  bahwa nilai moral dan life skill itu merupakan fondasi yang harus dimiliki oleh para remaja. dan yang penting dilakukan  orang tua harus dapat  memberikan peneladanan kepada mereka. ( Art, S)
 
by http://www.bkkbn.go.id/artikel/Pages/Life-Skills-atau-Ketrampilan,-Kecakapan-Hidup.aspx
 

PAUD Menyongsong Kualitas Anak Masa Depan



Pada Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.


Implikasi undang-undang itu adalah anak dari keluarga tidak mampu akan mendapatkan biaya pendidikan secara cuma-cuma dari pemerintah. Permasalahannya, bagaimana pemerintah menyosialisasikan dan membuat masyarakat mudah mengaksesnya.


Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang digalakkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Pendidikan anak memang harus dimulai sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal.


Itulah yang saya alami sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah yang setara dengan sekolah dasar di ujung UTara Kabupaten Magelang karena kebetulan saya mengampu kelas satu.Siswa yang sebelumnya memperoleh PAUD akan sangat berbeda dengan siswa yang sama sekali tidak tersentuh PAUD baik informal maupun nonformal. Ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar, PAUD memuluskan jalan itu sehingga anak menjadi lebih mandiri, lebih disiplin, dan lebih mudah mengembangkan kecerdasan majemuk anak.


Fenomena yang terjadi di Kabupaten Magelang mulai tahun ajaran baru 2007-2008 pemerintah memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK. Anjuran tersebut harus dipertimbangkan lagi jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dari hasil observasi di beberapa MI dan SD, tingkat drop out siswa SD yang tidak melalui TK lebih tinggi daripada siswa yang melalui TK. Pemerintah harus memikirkan akibat yang ditimbulkan. Kesenjangan pasti terjadi.


Pemerintah harus lebih tanggap pada fenomena tersebut, karena dengan memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK berarti telah mengabaikan suatu pendidikan di usia dini yang paling dasar bagi anak. Konsep bermain sambil belajar serta belajar sambil bermain pada PAUD merupakan pondasi yang mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. Kebijakan pemerintah kabupaten akan ikut menentukan nasib anak serta kualitas anak di masa depan.


Masa depan yang berkualitas tidak datang dengan tiba-tiba, oleh karena itu lewat PAUD kita pasang pondasi yang kuat agar di kemudian hari anak bisa berdiri kokoh dan menjadi sosok manusia yang berkualitas.


Di samping pemerintah, masyarakat adalah komunitas yang sangat berperan untuk mengembangkan PAUD. Jika kendalanya masalah biaya, masyarakat dalam hal ini lembaga penyelenggara PAUD bisa menyiasatinya dengan mereduksi biaya melalui kreativitas membuat alat peraga sendiri, menghilangkan kewajiban seragam, serta memenuhi gizi anak-anak PAUD melalui program pemerintah.


Alternatif lain PAUD bisa diselenggarakan oleh kelompok perempuan di masyarakat, dengan membekali diri melalui pelatihan PAUD (banyak organisasi/LSM yang bersedia mmeberikan pelatihan cuma-cuma). Mereka bisa bergantian menjadi pendamping anak-anak pada PAUD. Tentu saja untuk menerapkan ide ini diperlukan inisiasi pemerintah untuk menyosialisasikan serta memberdayakan masyarakat terutama di daerah terpencil.


PAUD nonformal khusus seperti Taman Pendidikan Alquran juga bisa diintegrasikan dengan PAUD umum yang bertujuan mengoptimalkan pengembangan kecerdasan majemuk anak.


Kita bisa memulainya dari mana saja terutama dari diri kita masing-masing. Berikanlah yang terbaik buat anak untuk menyongsong masa depannya, masa depan anak Indonesia yang cemerlang. 


oleh http://re-searchengines.com/0607endah.html